Kamis, 31 Desember 2009

Biopori: Teknologi Solusi Banjir




Teknologi biopori ini ditemukan oleh Ir. Kamir R Brata MS dosen ilmu tanah, air, dan konservasi lahan Fakultas Pertanian IPB.

Biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat aktifitas organisma di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah.
Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut.

Teknologi ini bisa diterapkan di kawasan perumahan yang 100% kedap air, di saluran air, di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka bahkan untuk kawasan persawahan di lahan miring.

Tak perlu khawatir tanah akan menjadi lunak, karena air yang terserap akan tersimpan menjadi cadangan air di bawah tanah. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik.

Cara pembuatan lubang ini ternyata cukup sederhana. Diawali dengan pembuatan lubang dan memasukkan sampah organik ke dalam lubang tersebut. Sampah-sampah ini kemudian diurai oleh organisma pengurai sehingga terbentuk pori-pori. Dengan cara ini, air hujan yang turun tidak membentuk aliran permukaan, melainkan meresap ke dalam tanah melalui pori-pori.

Langkah-langkah membuat lubang resapan biopori (LRB):

1. Dengan sebuah bor LRB kita bisa membuat lubang, untuk memudahkan pembuatan lubang bisa dibantu diberi air agar tanah lebih gembur.

2. Alat bor dimasukkan dan setelah penuh tanah (kurang lebih 10 cm kedalaman tanah) diangkat, untuk dikeluarkan tanahnya, lalu kembali lagi memperdalam lubang tersebut sampai sedalam 80 cm dan diameter 10 cm.

3. Pada bibir lubang dilakukan pengerasan dengan semen atau potongan pendek pralon. Hal ini untuk mencegah terjadinya erosi tanah.

5. Kemudian di bagian atas diberi pengaman besi supaya tidak terperosok ke dalam lubang.

6. Masukkan sampah organik (sisa dapur, sampah kebun/taman) ke dalam LRB. Jangan memasukkan sampah anorganik (seperti besi, plastic, baterai, stereofoam, dll)!

7. Bila sampah tidak banyak cukup diletakkan di mulut lubang, tapi bila sampah cukup banyak bisa dibantu dimasukkan dengan tongkat tumpul, tetapi tidak boleh terlalu padat karena akan mengganggu proses peresapan air ke samping.

Pemeliharaan LRB:

1. Lubang Resapan Biopori harus selalu terisi sampah organik

2. Sampah organik dapur bisa diambil sebagai kompos setelah dua minggu, sementara sampah kebun setelah dua bulan. Lama pembuatan kompos juga tergantung jenis tanah tempat pembuatan LRB, tanah lempung agak lebih lama proses kehancurannya. Pengambilan dilakukan dengan alat bor LRB.

3. Bila tidak diambil maka kompos akan terserap oleh tanah, LBR harus tetap dipantau supaya terisi sampah organik.

Lubang resapan biopori merupakan teknologi tepat guna untuk mengurangi genangan air dan sampah organik serta konservasi air bawah tanah. Untuk setiap 100 m2 lahan idealnya Lubang Resapan Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik dengan jarak antara 0,5 - 1 m. Dengan kedalam 100 cm dan diameter 10 cm setiap lubang bisa menampung 7,8 liter sampah. Sampah dapur dapat menjadi kompos dalam jangka waktu 15-30 hari, sementara sampah kebun berupa daun dan ranting bisa menjadi kompos dalam waktu 2-3 bulan.

pentingnya BIOPORI
mengutip dari Finroll
Yogyakarta, 30/11 (Antara/FINROLL News) - Datangnya musim hujan sebagai waktu yang tepat untuk membuat lubang resapan biopori sehingga masyarakat dapat langsung menikmati manfaatnya, kata Direktur Eksukutif `Lestari` Agus Hartono di Yogyakarta,Senin.

"Selama ini, masyarakat memang sudah mulai melakukan pembuatan lubang biopori, namun jumlahnya masih perlu ditingkatkan dan terkadang masyarakat membutuhkan bukti manfaat yang didapatkan sebelum melakukan pembuatan lubang biopori," kata Agus Hartono yang memimpin `Lestari` sebagai lembaga sosial masyarakat bergerak di bidang lingkungan.

Menurut dia, lokasi yang paling strategis untuk membuat lubang biopori adalah di tempat-tempat yang rawan genangan atau banjir dan tempat yang dilalui air pada saat hujan terjadi.

"Ada beberapa lokasi biopori yang belum tepat, misalnya dibuat di daerah yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya sehingga kurang maksimal menampung air," ujarnya.

Ia mengatakan masyarakat Kota Yogyakarta sudah mulai banyak yang membuat lubang biopori dan setidaknya dalam satu rukun warga (RW) sudah ada sekitar 300 lubang biopori, seperti di RW 6 Gamelan Panembahan Kraton.

Namun demikian, kata dia, biopori bukan menjadi satu-satunya cara untuk mengatasi genangan atau banjir pada saat musim hujan. "Perlu juga diperhatikan mengenai ketersediaan saluran air hujan dan juga pengelolaan sampah rumah tangga," katanya.

Ia menyebutkan, sungai, sebagai salah satu aliran air hujan masih belum bebas dari sampah, salah satunya adalah sampah rumah tangga.

Pengelolaan sampah dari rumah tangga dapat menekan jumlah sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir asalkan masyarakat mendapatkan pengetahuan yang tepat.

"Kami membagi sampah menjadi empat kategori, yaitu sampah layak kompos, layak jual, layak kreasi dan layak buang. Sehingga apabila pengelolaan tersebut berjalan, maka sampah yang dibuang akan berkurang cukup banyak," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Pengawasan dan Pemulihan Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta Ika Rostikawati menyatakan, pembuatan lubang biopori di wilayah kelurahan sudah dicanangkan sejak April lalu.

Pada saat pencanangan tersebut, setiap kelurahan mendapatkan bantuan 300 tutup lubang biopori dan 20 alat bor. "Tentunya, saat ini jumlah lubang biopori sejak pencanangan tersebut akan lebih banyak. Bisa lebih dari 100 ribu lubang," katanya.

Ia menyebutkan, manfaat lubang biopori sangat banyak diantaranya adalah menampung air pada saat hujan sehingga mengurangi banjir dan genangan serta menabung air yang dapat "dipanen" saat musim kemarau dan berfungsi sebagai komposter.

"Manfaatnya sangat banyak, sehingga kami akan terus menggalakkan pembuatan lubang biopori ke masyarakat," lanjutnya.

Pemerintah Kota Yogyakarta memasang target untuk memiliki satu juta lubang biopori pada 2011 dengan hitungan satu jiwa memiliki dua lubang biopori.

"Selain di lingkungan permukiman, BLH juga melakukan pembuatan lubang biopori di fasilitas umum, seperti Taman Parkir Abu Bakar Ali, Benteng Vredeburg," katanya. ***3***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar